The Shalimar Boutique Hotel terlihat sepi, Senin (4/2/2019). Sesekali terlihat pelayan dan tamu beraktivitas di hotel tersebut.
Layaknya hotel bintang lima, Shalimar menawarkan penginapan yang tenang. Arsitektur khas kolonial menemani tamu yang datang.
The Shalimar Boutique Hotel merupakan salah satu bukti sejarah kolonial di Kota Malang, Jawa Timur. Berdiri di Jalan Cerme, bangunan dengan arsitektur bergaya Niuwe Bowen itu sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
General Affairs Manager The Shalimar Butique Hotel, Agoes Basoeki mengatakan, gedung hotel itu dibangun sekitar tahun 1930-an. Saat itu, bangunan tersebut berfungsi sebagai gedung societeit atau tempat pertemuan komunitas Belanda.
"Pernah jadi gedung societeit. Pernah jadi tempat ngumpul, dansa-dansanya para orang Belanda," katanya.
Gedung yang berada di sisi barat Taman Cerme itu juga pernah menjadi markas komunitas freemason. Hal itu terbukti dengan adanya foto dokumenter yang memperlihatkan logo freemason di bagian depan gedung tersebut.
Logo itu berbentuk huruf G diapit jangka yang menghadap ke bawah serta huruf V besar di bawahnya. Foto dokumenter itu terpajang di loby hotel.
Sebelum menjadi bangunan hotel, gedung itu pernah digunakan sebagai Stasiun RRI Malang sejak tahun 1964. Lalu pada tahun 1993, PT Cakra Nur Lestari melakukan tukar guling dengan status hak guna usaha seluas 3.800 meter persegi.
Tahun 1994, bangunan itu difungsikan sebagai Hotel Malang Inn. Pada tahun 1995 menjadi Graha Cakra. Lalu pada 2011 sukses menjadi hotel bintang lima dan pada 2015 di-rebranding menjadi The Shalimar Boutique Hotel.
Total, hotel itu memiliki 44 kamar. Satu kamar tipe presiden suites bertarif Rp 10 juta per malam dan dua kamar tipe royal suites bertarif Rp 5,5 juta per malam.
Selain itu juga ada kamar tipe executive bertarif Rp 2.750.000, kamar tipe superior deluxe (Rp 2.300.000) dan kamar tipe deluxe (Rp 1.800.000) per malam.
No comments:
Post a Comment